Sabtu, 30 September 2017

PKI DAN GENERASI MILLENNIAL


“Untuk anak-anak millennial tentu saja mestinya dibuatkan lagi film yang memang bisa masuk ke mereka. Biar ngerti mereka bahaya komunisme. Biar mereka tahu juga mengenai PKI.”

Setuju!!!
Tolong dibuatkan versi baru untuk kami. Versi yang berseri. Kayak AADC ‘kan ada AADC 1 dan 2, Warkop DKI ada yang lama dan ada yang reborn.
Nah, PKI, jangan cuma pemberontakan PKI 65. Tapi juga dibuatkan pemberontakan 26 yang berakibat mengganggu pergerakan nasional kaum muda. Kemudian pemberontakan 48 di Madiun, waktu mereka banyak meregangkan nyawa para ulama dan santri. Itu yang kami butuhkan!
Bapak tahu sendiri, anak muda jaman kami, generasi 90an apalagi setelahnya, banyak yang malas membaca (semoga saya salah). Apalagi untuk membaca buku sejarah. Mungkin, bikin pusing.
Nah kalau dibuat bentuk film ‘kan enak, sesuai dengan gaya hidup generasi muda saat ini yang doyan nobar dan ke bioskop. Jadi, bisa nonton film sejarah seperti nonton Film Habibi dan Ainun, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi. Bisa masuk deh pesannya ke generasi millennial.
Film PKI yang sekarang diributkan ini, sebenarnya juga membuat kami bertanya-tanya dan banyak tanya pada akhirnya.
Ingin tahu lebih jauh tentang sejarah dan akar PKI. Bagaimana sampai berdiri dan masuk Indonesia? Bagaimana keseharian orang-orang PKI di tengah-tengah masyarakat? Bagaimana awalnya para pemuda dan pemudi tergiur menjadi sukwan dan sukwati untuk PKI? Apa yang PKI janjikan?
Bagaimana mungkin PKI bisa sampai ikut dalam pemilu 55 sedang 7 tahun sebelumnya mereka sudah melakukan pemberontakan besar?  Membunuh ulama, santri, umat muslim yang sedang solat berjamaah, tokoh masyarakat, pejabat, TNI, polisi, pemimpin partai? Loh kok ada yang mau milih, kok bisa diloloskan ikut pemilu? Peringkat 4 lagi.
Kenapa juga PKI sukanya dengan sumur? Pemberontakan 48 dan 65 mereka suka “main” di sumur. Jenazah-jenazah selalu dimasukkan dalam sumur. Apa gaya-gaya PKI selalu begini? Selain menganiaya, memfitnah dan membunuh?

Bukan apa-apa, hanya supaya kami paham saja secara utuh. Tidak setengah-setengah. Karena versi lengkap seperti ini akan sangat sesuai dengan generasi kami yang kritis, meski malas membaca.

AGEN POLISI TINGKAT DUA, SUKITMAN


“Ganyang kabir! Ganyang kabir! Ganyang kabir!”
Suara itu mengiringi penyiksaan dan pembunuhan beberapa orang secara bergilir. Saya melihat dengan mata sendiri. Saya mendengar dengan telinga sendiri.
Waktu itu, saya diseret ke sebuah rumah, di sekitarnya ada beberapa tenda berdiri. Tangan saya dilepas dari ikatan. Mata saya dibuka dari penutup. Semua bisa saya lihat begitu jelas.
Suara tembakan berbunyi berkali-kali. Saya tidak tahu siapa yang ditembak. Yang jelas, ketika saya dimasukkan ke dalam tenda tadi, saya melihat beberapa orang yang bersimbah darah dengan mata dan tangan tidak leluasa. Ditutup dan diikat.
Saya juga sempat dengar, ada yang bilang, “Yani wes dipateni.”
Saya tidak tahu siapa yang dimaksud. Karena saat itu, saya belum banyak tahu. Saya lihat siapa penembaknya. Saya juga lihat orang yang ditembak, hanya saat itu tidak kenal. Orang yang menembak itu, berkali-kali lalu-lalang di depan saya, sambil membawa senjata begitu melepas butir-butir pelurunya.
Saya merinding. Bergidik. Saat itu saya sangat kalut. Bingung. Orang-orang itu (para pahlawan), tadinya juga sama dengan saya, diikat dan ditutup matanya. Jadi, bukan tidak mungkin nanti akan tiba giliran saya yang diperlakukan begitu.
Saya hanya berdoa terus sama Allah subhanahu wata’ala. Saya mohon perlindungan. Sudah pasrah. Saya ini dari kampung. Saya sudah tidak punya ayah. Apalah yang mereka dapatkan dari saya kalau mereka benar membunuh orang seperti saya ini. Batin saya waktu itu. Tapi, tiba-tiba seorang teman dari si penembak tadi mendekat.
“Kamu jangan takut. Mereka yang disiksa dan ditembaki itu, para jenderal kaya. Orang kayak kita gini, beli kaos saja susah, sedang mereka, jam dindingnya saja dari emas,” katanya pada saya.
Waktu itu saya hanya mangut-mangut. Meski sejujurnya, saya tidak paham apa yang dibicarakan orang tadi. Bagi saya, itu terlalu sulit untuk dicerna. Jadi, karena takut, saya hanya mangut-mangut.

*****

Penuturan dari Pak Sukitman, saksi sejarah, di salah satu TV swasta.
Dulu, waktu peristiwa pilu itu terjadi, beliau adalah seorang polisi berpangkat rendah yang juga ikut diculik dan dibawa ke daerah Lubang Buaya, markas latihan para Pemuda Rakyat dan Gerwani alias sukwan dan sukwati PKI.
Waktu itu, beliau adalah salah satu pengawal yang sedang berjaga-jaga di rumah Jenderal Pandjaitan. Tiba-tiba gerombolan orang datang menderu-derukan senjata dan membuat sepeda yang sedang dikendarainya jatuh, senjatanya diambil. Beliau didorong masuk ke dalam bis/truk, meringkuk di bawah supir.
“Anehnya”, meski ikut diculik oleh PKI, beliau tidak diapa-apakan. Tidak disiksa apalagi sampai putus urat lehernya. Sebenarnya, hal ini tidak aneh. Karena apa?
Di sanalah ada campur tangan Allah. Tidak ada kejahatan yang sempurna. Allah seolah membolak-balikkan hati pengkhianat itu dengan “membiarkan” Pak Sukitman menyaksikan semua kekejian mereka dan kini menjadi saksi sejarah bangsa.
Menurut Pak Sukitman, para PKI itu berteriak, “Ganyang kabir! Ganyang Kapitalis Birokrasi!” Dan begitu selesai menunjukkan sifat kesetanannya dan membunuh tujuh pahlawan tersebut, mereka saling bersalaman, “Sukses. Sukses. Kita sukses.”.
Jenazah-jenazah tersebut diseret masuk ke dalam sumur tua, kepala duluan, lalu ditembaki berkali-kali lagi. Apa belum cukup penyiksaan dan penembakan yang tadi?
Rupanya, PKI itu peragu! Bisa jadi, mereka menembak lagi karena khawatir dari tujuh jasad tersebut ada yang tiba-tiba bangun kembali. Ternyata, PKI itu penakut!
Dan apa yang mereka katakan tentang para jenderal kaya itu adalah sebuah fitnah keji atas nama kepentingan. Mereka memang kaya, tapi bukan kapitalis. Lagi-lagi, tidak sekadar menyiksa, menganiaya dan membunuh raga, mereka juga melemparkan fitnah. Bukankah fitnah lebih kejam dari pada membunuh?
Lalu, apa yang terjadi pada Pak Sukitman?
Dalam Film G30S/PKI kita lihat perannya begitu “ganjil”. Tangan diikat dan ditutup matanya, kemudian dibuka mata dan tangannya untuk dibiarkan di pojokkan rumah. Seolah beliau hanya dibiarkan menjadi “penonton”. Bahkan, menurut penuturan beliau, sempat di satu hari beliau diajak seorang PKI untuk mengambil nasi dan membagikannya di markas mereka. Seolah, Pak Sukitman itu benar-benar bukan apa-apa.
Memang betul saat itu beliau hanya polisi berpangkat rendah, tapi tidak “memperhitungkan” keberadaannya bukankah sebuah kesalahan berhitung dalam strategi bagi tubuh PKI? Rupanya, PKI tidak pandai berhitung. Lagi-lagi.
Terakhir, hal yang membuat beliau terharu adalah, ketika Kolonel Sarwo Edhi menyebut namanya di media, “Kalau ada yang berjasa atas penemuan jenazah enam jenderal dan satu kapten tersebut, dia adalah seorang polisi tingkat dua, Sukitman.” Tentu saja, atas ridho dan petunjuk Allah.

*Judul artikel ini sengaja saya ambil dari judul buku yang Pak Sukitman tulis, “Agen Polisi Tingkat Dua, Sukitman”.

Rabu, 20 September 2017

Semangat Hijrah

Dulu, para sahabat bingung. Untuk berkirim surat kepada para pejabat negara lain saja mereka belum memiliki perhitungan tahun. Yang ada hanya tanggal dan bulan. Dari situ, sahabat-sahabat mengusulkan untuk ditetapkannya sebuah perhitungan untuk tahun.
Mulai dari yang mengusulkan waktu lahirnya nabi, waktu diangkat jadi nabi, waktu nabi hijrah, ada juga yang usulkan saat nabi wafat.
Akhirnya, Sahabat Umar bin Khattab menetapkan waktu hijrahnya nabi dari Mekkah ke Madinahlah yang menjadi dasar perhitungan tahun. Alasannnya, agar muslim bisa mengenang tahun baru hijriyah sebagai momentum untuk berhijrah.
Mau hijrah dari yang buruk kepada yang baik
Mau dari yang baik ke yang lebih baik
Atau dari yang sudah lebih baik untuk terus meningkat dan istiqomah, it's ok.
Sebagaimana Rasulullah hijrah meninggalkan kesedihan, keputusasaan, kampung halaman dan harta benda, untuk terus bisa berdakwah demi tersebarnya Islam lebih luas lagi. Demi Allah.

Ada PKI dalam Novel? It's Ok!


Mas Musoh dan Musso adalah orang yang sama. Hanya, mereka beda dunia. Satu dalam novel, sedang satunya riil.
Siapa sebenarnya mereka?
Ya, Tere Liye memang tidak pernah sembarangan memilih nama, waktu, juga kisah.
Dalam novelnya, Mas Musoh adalah seorang pengkhianat. Pengkhianat ulama, pengkhianat bangsa.
Sedang Musso adalah salah satu tokoh pengkhianat yang sudah lama tinggal di Uni Soviet.
Mereka sama?
Ya!
Mas Musoh adalah penjelmaan dari sosok nyata Musso.
Dalam novel dikisahkan Mas Musoh adalah sosok iri dengki dan pendendam. Sampai akhirnya rasa sakit hati membawa dia menggelar pagelaran seni bertajuk "Matine Gusti Allah".
Ini senada dengan sosok Musso dalam sejarah yang berpaham komunis. Yang salah satu ajarannya adalah, manusia anti Tuhan.
Hal lain lagi, peristiwa terjadi di Surakarta. Tahun 1948 dan 1965. Kalau tidak salah ingat, dalam novelnya, Tere mengambil kejadian tahun 1965. Persis kejadian pengkhianatan besar-besaran di Surakarta. Dan bertepatan dengan usia tokoh dalam cerita novel, Sri Ningsih berusia 17 tahun.
Tentang apa yang mereka lakukan dalam pengkhianatan itu, mereka menyiksa, melenyapkan dengan keji.
Dalam novel, Kiyai dan keluarganya dimasukkan dalam mesin pemanas (kalau tidak salah). Sedang nyatanya, korban-korban pengkhianatan itu dimasukkan dalam sumur.
Bagi saya, ini brilliant. Perhitungan yang tepat dan tujuan yang pas. Membawa sejarah menjadi bacaan dalam novel, tanpa disadari dan tanpa berat diresapi.
Hasilnya apa? Tujuan memberitahu anak muda bangsa tentang sejarah lewat novel, berhasil. Kekejaman PKI dalam novel itu sama persis dengan aslinya.
Dalam dua buku sejarah SMP dan SMA juga sama. Kedua penulis menerangkan bahwa para pengkhianat bangsa tersebut memang berhasil ditumpas saat itu, tapi tetaplah waspada. Sisa-sisa pengkhianat itu masih terpendam sampai sekarang.

Jumat, 08 September 2017

9949-SBY Ultah


“Aku suka sama Audy. Yang nyanyi lagu ‘Menangis Semalam’, kamu tahu?” tanya seorang teman waktu itu.
Tapi saya cuma diam karena memang tidak tahu. Sempat minder karena dia tahu, sedang saya tidak tahu. Hehehe. Seolah teman saya itu membelalakkan mata ke saya dan bilang, “Kamu nggak tahu, Des?”
Kenapa saat itu saya khawatir ya? Dipikir-pikir sekarang, apa pentingnya tahu atau tidak tahu seorang penyanyi. Apalagi waktu itu masih berseragam putih merah, kelas 6 SD. Tapi, lantaran malu merasa tidak tahu dan tidak punya sosok yang diidolakan seperti dia, saya ambil sikap.
Iseng campur penasaran, saya nonton TV. Tujuannya, mencari “Audy”! Beberapa lama nonton, saya belum nemu juga yang namanya Audy, tapi nemu Pak SBY. Tahun itu adalah tahun pertama pemilu langsung oleh rakyat, ya di tahun 2004.
Dengan pakaian warna khas partainya, lengkap dengan rompi tanpa lengan (saya ingat betul itu), Pak SBY bersenandung (baca: kampanye) dengan tajuk “Bersama Kita Bisa”. Tanpa sadar, saya ikuti lagunya sampai habis bahkan sampai hafal hingga sekarang ). Duet beliau bersama Pak JK saat itu sukses membuat saya bulat memutuskan nge-fans dengan Pak SBY. Hoho.
Seorang sahabat bahkan sempat kaget begitu saya bilang nge-fansnya sama Pak SBY. Karena setahu dia, warna partai yang saya fanatikkan bukan partai berwarna biru. (Dari kecil saya memang kenal dengan hal-hal begitu, meski belum punya hak pilih, jauuuuh umurnya. Ini bagian dari pendidikan politik sejak dini). Sekarang, saya pengen tepok jidat. Bagaimana bisa sahabat saya hafal mati partai kesukaan saya. Wkwk.
Dulu saya memang fanatik dengan partai warna X itu. Dulu. Tapi waktu, tidak pernah mengikrarkan saya untuk setia dengan partai itu. Haluan berubah.
Lanjut ke bangku SMP, sebagai tugas bahasa Indonesia, sosok Pak SBY lagi-lagi saya pilih sebagai idola. Disaat teman-teman lain nge-fansnya dengan Alissya Soebandoeno, Nia Ramadhani, dkk. Hoho.
Alhasil sampai saat ini ada rasa kagum tersendiri melihat sosok purnawirawan TNI tersebut. Gaya bicaranya yang berwibawa, sikap cakapnya dalam berpidato, lantangnya suara. Itu yang saya pelajari diam-diam.
Meski dalam perjalanannya, tentu saya bukan fans buta. Beberapa kali saya bahkan ingin menutup wajah dan bilang “Shame on You” pada Pak SBY atas keraguan-raguannya dalam mengambil beberapa keputusan penting saat itu.
Tapi meski bagaimana pun, terima kasih karena Pak SBY sudah menjadi nahkoda di kapal Indonesia selama sepuluh tahun.
Dan terima kasih juga sudah menciptakan lagu penyemangat untuk kaum-kaum yang terus yakin dengan pilihan jalannya sendiri “Kuyakin Sampai Di sana”.
Sekali lagi, selamat milad Pak SBY. Semoga umurnya berkah.
#Desti_Annor SB-NTB

Senin, 21 Agustus 2017

ADA APA DENGAN NOVEL?

ADA APA DENGAN NOVEL?
Nasi goreng spesial terhidang di atas meja. Asapnya masih kebul-kebul, mengeluarkan aroma bumbu dan pedasnya cabai. Terlihat di antara nasi yang merah kecoklatan itu, sosis-sosis yang dicincang. Lengkap dengan telur ceplok setengah matang. Makin plus-plus dengan kriuk kerupuk udang. Mmmm, rasanya lidah bergoyang-goyang.
STOP!!!

Maaf. Apa tulisan di atas membuat siapa yang membaca jadi terbayang-bayang nasi goreng? Jadi lapar atau bahkan ada rasa ingin makan segera?
Atau?
Apa pembaca hanya sekadar membacanya? Tanpa membayangkan bagaimana kenikmatan nasi goreng spesial itu?

Ya. Saya tidak sedang mau kasih resep untuk membuat nasi goreng di sini (silakan cari di tempat lain ya ). Ada hal yang lebih penting nan genting untuk saya bagikan di sini. Apa itu?
Tulisan deskripsi seperti itu, jelas menggiring pembaca untuk membayangkan apa yang ada dalam tulisan. Tulisan seperti itu jelas sedikit atau banyak bisa memengaruhi hasrat pembaca terhadap apa yang jelaskan.

Sama dengan menulis. Mau novel, cerpen atau kisah dalam bentuk lainnya. Kalau di dalam novel itu kita suguhkan tulisan-tulisan deskripsi yang amat detil tentang sesuatu, tentu pembaca juga ikut ke sana memikirkan.

Lalu, bagaimana dengan tulisan yang mendeskripsikan hal-hal yang tidak seharusnya diumbar secara umum? Hal-hal yang seharusnya lebih etis menjadi simpanan dalam diri masing-masing?
Tentu sama, Dear!

Tujuan penulis mendeskripsikan sesuatu itu, supaya pembaca bisa mendapat feelnya. Bisa membayangkan. Bisa merasakan menjadi tokoh atau bisa merasakan ada di tempat kejadian. Bisa tahu bagaimana kisah yang dialamai tokoh itu berlangsung.
Tapi, bagaimana kalau tulisan kita justru menggiring pembaca untuk “merasakan” dan “menikmati” hal yang tidak seharusnya jadi konsumsi publik? Hal-hal tidak lulus sensor? (Tidak perlu saya sebutkan apa itu. Sudah sangat jelas.)

“Hak penulis dong, mau nulis apa aja!”

Iya betul! Menulis itu memang “kebebasan” penulisnya. Tapi, coba renungkan lagi. Apa iya, rela tulisan hari ini memberatkan timbangan keburukan kita di hari akhir nanti? Karena mengajak orang lain berangan-angan tentang “sesuatu”?

“Ah, itu tergantung yang baca dong! Dia pikirannya memang negatif atau nggak? Jangan salahkan yang nulis!”

Betul tergantung yang baca!
Tapi apa kita lupa? Bahwa kitalah sebagai penulis cerita yang sudah menggiring mereka “membangkitkan” pikiran negatif itu lebih aktif? Kita yang memfasilitasi tumbuh kembangnya pikiran itu lewat tulisan-tulisan.

“Nggak semua pembaca pikirannya negatif seperti itu!”

Iya tidak semua. Tapi apa kita tahu? Siapa saja yang baca dan mana yang punya pikiran baik-baik atau tidak? Bisa jamin? Bisa pilih-pilih pembaca? Bisa pastikan?
Sayangnya, tidak, ‘kan?

“Oke. Adegan itu hanya pelengkap! Cerita intinya sih mulia. Banyak pengajaran tentang makna kehidupan, seperti pengorbanan, kepedulian!”

Hmmm, jangan campurkan dua hal berbeda nilai dalam satu wadah, atau cerita itu justru akan didominasi dari hal buruknya saja. Ingat! Jangan sampaikan kebaikan dengan cara yang salah! Yang baik ya disampaikan dengan cara baik. Masih banyak kisah di atas muka bumi ini, yang belum kita jamah untuk diangkat jadi sebuah cerita keren.

“Jangan munafik! Hal-hal kayak gitu sudah jadi rahasia umum! Semua orang sudah tahu meski nggak ditulis sekalipun!”

Kalau sudah jadi lumrah, apa lantas jadi benar?


Dear, izinkan saya sharing sedikit.
Bagi saya pribadi, tulisan adalah tanggung jawab. Tidak main-main! Tanggung jawab dunia akhirat! Ya, menulis itu tanggung jawab dunia akhirat! Kita tidak serta merta lepas tangan begitu saja, ketika tulisan selesai dan dibaca orang lain. Tidak!

Ada tanggung jawab secara moral di sana. Tulisan tidak berhenti sebatas jadi rangkaian huruf membentuk kata, atau rangkaian kata membentuk kalimat. Tidak sampai disitu! Tidak sesingkat itu! Ada efek berkepanjangan setelahnya.

Tahu, ‘kan? Tulisan itu, juga bisa jadi dua jalur jariah. Satu jalur pahala. Satunya lagi lawannya. Dua hal itu mengalir terus seperti transferan ketika tulisan tidak henti dibaca orang.

Coba bayangkan! Betapa mengerikannya arus transferan keburukan itu ke timbangan diri sendiri. Tidak akan putus entah sampai pembaca kesekian.
Kalau yang dibagikan hal-hal baik, tentu transferan yang mengalir ke diri kita adalah pahala. Pahala yang sama besarnya dengan yang mereka kerjakan, sesuai ajakan yang ada ditulisan kita. Tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.

Lalu, bagaimana kalau isi tulisannya tidak mengedukasi?
Membuat mereka jadi membayangkan hal buruk? Lalu “terinspirasi” dan mengajak orang lain juga ikut melakukan. Bisa dibayangkan! Transferan keburukan itu juga mengalir ke “tabungan” kita sebagai pencerita.

Sayang, loh. Kisah dalam novel yang sudah oke harus tercoreng dengan adanya adegan-adegan tidak pantas untuk dipaparkan di publik.
Khawatir nanti, seiring mengalirnya transferan royalti ke rekening kita, jangan-jangan dibarengi dengan mengalirnya transferan amal buruk ke “tabungan” akhirat.

Apa iya, mau novel/buku yang tercetak ribuan eksemplar nanti, masing-masing menyumbang amal buruk ke “tabungan” akhirat kita? Karena saat novel itu sudah beredar, kita sudah tidak punya kendali lagi untuk bisa menghentikannya.

Sebelum semua itu terjadi, sebelum kita menulis cerita, sebelum kita benar-benar jadi penulis suatu saat nanti, pikirkanlah lagi, Dear. Pikirkan baik-baik apa yang sudah dan akan kita tulis. Pastikan hanya ada hal-hal baik yang diajarkan di dalamnya, yang sarat hikmah dan kebaikan. Bukan semata hiburan yang “menyenangkan” dan “memuaskan”.

Terakhir. Semoga, sebelum naskah dikirim ke meja editor, sebelum naskah di posting ke mana-mana, kita sudah pastikan tidak ada ajakan-ajakan buruk yang tanpa sadar tergores dalam cerita.

Semoga tulisan dalam novel dan buku kita hanya mengalirkan dua transferan yang sama baik manfaatnya. Ke rekening pribadi sebagai rezeki di dunia, dan ke timbangan amal baik di akhirat nanti .
Silakan share jika peduli dengan (calon) penulis lainnya.

*Maaf, harusnya minggu ini saya posting artikel “kiat menghadapi naskah yang terseok-seok”. Tapi saya undur, karena merasa artikel ini lebih genting untuk diposting lebih dulu. Maaf.

Sabtu, 12 Agustus 2017

Pengen Nulis Novel? Catat Langkah Awalnya!

PENGEN NULIS NOVEL? CATAT LANGKAH AWALNYA!

Bingung, harus mulai menulis novel dari mana?
Kamu tidak sendiri, Dear! Banyak kok yang mengalami masalah seperti itu. Punya keinginan buat nulis cerita, punya banyak kisah dalam hidup, tapi masih bingung. Bagaimana akan menuangkannya menjadi sebuah novel layak baca?
Ditambah lagi banyaknya aturan dalam menulis novel, yang terkadang membuat penulis pemula kebingungan tanpa solusi. Nah, artikel ini hadir untuk para pemula yang ingin segera melangkah buat take action. Berikut rumusan sederhananya sebelum mulai menulis novel :
1. Siapa yang Kenapa
Ya, pertanyaan “Siapa yang kenapa” menjadi langkah awal dalam menentukan bentuk cerita. Ide bisa datang dari memikirkan siapa tokoh yang akan berlakon dalam cerita kita. “Siapa” di sini bisa berarti profesinya apa, usianya berapa, karakternya seperti apa, dan lainnya. Pastikan “Siapa” ini adalah tokoh utama, yang menjadi sentral cerita.
Sedangkan “Kenapa” adalah hal apa yang terjadi pada tokoh dalam cerita tersebut. Tokoh kita kenapa? Itulah inti dari pertanyaan yang harus terjawab. Apa yang terjadi pada tokoh akan menjadi dasar cerita. Yang pada akhirnya mampu menumbuhkan cabang-cabang konflik.
Contoh :
- Siapa?  : Seorang remaja tanggung.
- Kenapa?  : Mengalami gangguan kepribadian karena putus sekolah.
- Ide awal menjadi : Seorang remaja tanggung yang mengalami gangguan kepribadian karena putus sekolah.

2. Siapa dengan Siapa
Pertanyaan lanjutan yang berkembang adalah “Siapa dengan siapa”. Pohon tokoh akan berkembang. Dari tokoh utama, bisa ditarikkembangkan ranting-ranting tokoh lainnya. Menjadi tokoh antagonis, penengah atau sekadar tokoh pembantu.
Contoh :
Kehidupan tokoh remaja tanggung dengan nenek dan kedua orangtuanya.

3. Bagaimana Hubungan Kejadian Antartokoh
Dari poin kedua kita dapatkan tokoh yang disiapkan adalah remaja tanggung, nenek dan kedua orangtua. Bagaimana hubungan mereka? Bagaimana kaitan dengan cerita sentral?
Itulah yang menjadi pertanyaan berikutnya. Menentukan hubungan antarkejadian, atau disebut plot.
Contoh :
Nenek remaja itu tidak punya cukup uang untuk bisa menyekolahkannya lagi. Sementara kedua orangtuanya, sudah lama tidak bersama. Jauh dari hidupnya.
Dua poin ini akhirnya menggiring terbentuknya cerita sentral. Sebagai alasan kenapa tokoh sampai putus sekolah dan mengalami gangguan kepribadian.

4. Di mana Kejadian Berlangsung
Setting adalah hal penting lainnya, yang harus dipikirkan di awal persiapan sebelum menulis novel. Karena di mana kejadian berlangsung akan sangat mendukung bagaimana cerita ini berjalan. Apakah di perkotaan besar, di pedasaan, di luar negeri, dan sebagainya.
Contoh :
Kisah remaja tanggun ini berlangsung di pedesaan, sebuah kota kecil di Indonesia. (Silakan sebut nama desa atau kota jika memang diperlukan. Tapi bukan masalah jika nama kota tidak disebut atau fiktif. Asal, pastikan kalau cerita memiliki tempat yang jelas untuk kejadian demi kejadian berlangsung. Missal rumah, pasar, sekolah, dll.)

5. Pesan Apa yang akan Dititipkan dalam Cerita
Sebuah cerita harus mengandung nilai/pesan. Baik pesan agama, sosial, hukum atau lainnya. Meski berada pada urutan terakhir, bukan berarti pesan menjadi tidak begitu penting. Karena sejatinya, sebuah cerita yang tanpa pesan, sama artinya dengan “mencuri” waktu pembaca.
Pembaca menyisihkan waktu untuk membaca cerita kita, tapi ternyata dia tidak dapatkan pesan atau pelajaran apapun.
Contoh pesan : Masa depan anak adalah tanggung jawab bersama para orang dewasa.

Menulis novel memang tidak susah, tapi bukan berarti mudah. Karena, menulis novel membutuhkan skill khusus, yang ritmenya harus konsisten dan terus-menerus digali. Oke, selamat mencoba…